Diary Ibu Jesi: Cucu Pertama

CUCU PERTAMA

Hidup adalah pilihan. Lahir sebagai anak siapapun kita tidak bisa memilih, semua sudah digariskan Allah SWT. Termasuk lahir sebagai anak pertama, anak kedua, anak terakhir atau anak ke berapapun semua memang rahasia Tuhan.

Terlahir sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara, membuat Mamaku tak menikmati masa kecilnya. Bahkan hanya bersekolah sampai kelas dua SD saja. Kehidupan masa itu teramat sulit untuknya. Beliau tidak bisa membagi waktu antara membantu orangtuanya, mengasuh beberapa adiknya dan belajar. Maka beliau memilih untuk putus sekolah demi kebaktiannya pada kedua orang tua.

Tidak demikian keadaannya denganku. Aku juga anak pertama dari tiga bersaudara, meski bukan anak pertama yang hidup. Kakakku meninggal saat umurnya belum genap tiga tahun, karena sakit. Qodarullah, kelahiranku adalah anugerah yang begitu dinantikan oleh Mama dan Bapaku, waktu itu.

Begitu pula dengan Babyku, Bebi Jesi. Kelahirannya sangat dinantikan olehku, suami dan keluarga besar kami. Sebab dia tak serta merta hadir setelah kami menikah, butuh 33 bulan bersabar dalam proses penantian yang panjang. Berikhtiar, berdo'a dan berjuang ke sana kemari tanpa henti. Meski putus asa pernah menghampiri tapi kehamilan pertamaku adalah bukti bukan sebatas testimoni.

Bukti bahwa Bebi Jesi adalah hasil yang tak menghianati perjuangan. Bahwa selalu ada kuasa Tuhan dalam setiap kejadian. Bebi Jesi lahir sebagai anak pertama dari seorang anak sulung sepertiku. Maka resmilah dia menyandang status cucu pertama untuk orang tuaku. Cucu pertama yang berhasil menjadi idola dan bintang baru bagi kehidupan keluarga kami. Bersinar terang, menyemangati semuanya.

Cucu pertama yang berhasil merubah keadaan. Bagaimana tidak? Mamaku yang sebelumnya berbadan ringkih karena pernah sakit dalam waktu yang lama, bersikeras untuk mengasuh cucu pertamanya sendirian, tanpa bantuan. Tidak mau dicarikan rewang, apalagi membiarkan orang lain menawarkan pengasuhan. Beliau menginginkan asuhan langsung di bawah rengkuhan.

Lantas, dimana aku berada kemudian? Aku kembali bekerja setelah masa cuti berkesudahan. Melanjutkan perjuangan untuk memberikan kASIh yang tak bisa diwakilkan. Berusaha membagi waktu untuk menyelesaikan kewajiban pekerjaan dengan baik. Meski harus rela bolak-balik menengoknya 2-3 kali sebelum jam kerja penghabisan. Jika kadang tak ada kesempatan untuk pulang, maka Mama dan Bebi Jesi yang akan menyapaku di sekolahan.

Beruntung sekolahanku dekat dengan rumahku. Hanya butuh berjalan kaki lima menit saja sudah sampai. Mamaku tak perlu harus naik kendaraan untuk menyusulkan, jika Bebi Jesi lapar haus tak tertahankan. Karena dia belum makan apapun kecuali minum ASI dari Ibunya, yaitu aku.

Aku memang berniat memberikan ASI secara khusus padanya. Tak berpikir sedikitpun untuk menambahkan susu formula. Karena ternyata Bebi Jesi tak mau minum dengan cara lain. Dia hanya mau minum langsung dari sumbernya. Menempel langsung pada Ibunya. Meski sudah kuperah dan kusimpan secara steril, tetap saja dia tak mau. Mungkin dia sudah membedakan, wadah yang asli dengan yang buatan itu yang mana.

6 bulan bukan waktu yang singkat. Karena cucu pertama yang diberi full perhatian oleh Embahnya (sebutan akrab untuk seorang nenek kakek, di lingkunganku, menjadi panggilan resmi untuk Mamaku setelah Bebi Jesi lahir.") tidak boleh makan apapun kecuali air susu ibunya. Meski kadang dia seperti ingin makan, aku tetap bersikeras mempertahankan.

Jadilah aku yang baper kemudian. Kenapa? Karena seperti bayi pada umumnya, ketika Bebi Jesi lapar, dia akan menangis. Jika dia haus dia juga pasti akan menangis. Ini membuat Embahnya full bereaksi secara aktif. Semua menjadi salah Ibunya (aku). Apalah daya, rasanya seperti semut kecil yang terinjak di pojokan, tidak bisa membela diri.

Embahnya tidak membolehkan cucu pertamanya menangis. Dia harus damai, nyaman, tentram dan kenyang. Alhasil, jika sudah di rumah. Aku tak pernah bisa ke manapun, bahkan hingga sampai sekarang. Bahkan jika malam dia terbangun dan menangis, embahnya akan terbangun dan berusaha ikut menenangkan.

Betapa beruntungnya Bebi Jesi dengan segala perhatian yang didapatkan. Perhatian sebagai cucu pertama, juga perhatian sebagai anak pertama. Layaklah dia menjadi satu-satunya kesayangan yang tidak boleh di nomor duakan.

"Yah, besok Ibu ada undangan sosialisasi simda pengurus barang?" kataku semalam untuk membuka obrolan dengan suami setelah Bebi Jesi lelap di pembaringan.
"Di mana?, Kapan?"
"BPKAD. Rabu, jam satu siang." jawabku untuk menambahkan keterangan.
"Nggak usah berangkat. Kasihan Jesi. Kasihan Embah. Masa suruh momong seharian. Nanti kecapekan."

Lain lagi di suatu kesempatan. Embah datang membawa sebuah bingkisan, yang kulihat itu mainan masak-masakan.
"Jesi, coba lihat Embah bawa apa?"
"Main masak-masak, Mbah?"
"Jesi suka, nggak?"

Bebi Jesi mengangguk lalu tertawa sumringah sambil berlarian.

***

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#day10

#698kata
#CleverParenting
Rumah Clever, Cilacap, 10 September 2018: 14.59.
Ibu Jesi.

****

Betty Clever
Betty Clever Lifestyle Blogger

Posting Komentar untuk "Diary Ibu Jesi: Cucu Pertama"