DIARY IBU JESI: SIM AYAH JOKO

SIM Ayah Joko

Setiap malam, aku dan suamiku (Jose: Joko Septiono) biasa ngobrol dari hati ke hati. Menceritakan ulang apa saja yang menjadi kisah hari ini, kemudian mengambil refleksi atas semua yang terjadi. Meski kadang tidak dengan bahasa yang benar-benar baku, hanya dalam dialog singkat tapi padat.

That is my quality time with my hubby. Eh. Hehehe. Oke oke. Bukan saatnya mesra-mesran, but saatnya lucu-lucuan. Lho, kok? Simak baik-baik cerita berikut ini.

*

Bulan ini, bulan September, tahun 2018. Menurut keterangan masa berlaku di SIM (Surat Ijin Mengemudi), beliau harus memperpanjang waktunya, jika tidak ingin ditilang. Akan sangat merugikan tentunya, karena beliau setiap hari harus otw dua jam melewati jarak puluhan kilometer. SIM adalah harta karun yang tak boleh ketinggalan.

Sekitar pukul 07.30, beliau pamit ijin ke Polres Cilacap untuk segala proses yang dibutuhkan. Dari tempatnya bekerja hanya butuh 5-10 menit naik sepeda motor. Jadi, sekitar pukul 07.45 beliau sudah masuk ke security area kepolisian. Sudah berbeda dengan kondisi waktu aku memperpanjang SIM waktu itu, Januari lalu.

Saat masuk, beliau harus melewati metal detector, dan tahukah saudara semua? Sudah sekitar sepuluh menit mencari lokasi uji kesehatan tak juga ditemukannya. Tak mau berlama-lama dalam kebingungan, akhirnya beliau bertanya pada pak polisi yang berjaga di pintu depan.

"Assalamu'alaikum, Pak." sapa beliau pada pak polisi.
"Wa'alaikumsalam, Pak. Maaf ada yang bisa kami bantu?" jawab pak polisi.
"Begini, Pak. Saya mau mengurus perpanjangan SIM. Menurur info, uji kesehatan kemarin di dekat pintu masuk. Kemana pindahnya ya Pak?"
"Oh, iya. Bapak keluar kantor polisi ini menuju jalan Laban. Tes kesehatan pindah ke sana."
"Jalan Laban itu dimana ya?"
"Bapak lurus aja, nanti ketemu juga kok. Sudah banyak orang, di sana"
"Baiklah, Pak. Terima kasih ya."
"Sama-sama, Pak. Setelah uji kesehatan, Bapak kembali lagi ke sini ya."
"Siap." suamiku menjabat tangan pak polisi itu, lalu berlalu.

Sampai di tempat yang dituju, ternyata antrian sudah mengular, padahal ini baru pukul 08.00. Beliau harus bersabar, menunggu nomornya dipanggil petugas kesehatan.

Satu jam kemudian, suamiku kembali ke kantor kepolisian resort Cilacap, untuk registrasi perpanjangan kartu SIM dan membayar langsung biayanya di loket bank yang disediakan. Tentu saja kesabaran terus saja di uji, karena yang membuat bisa lebih dari ratusan orang untuk satu wilayah kabupaten. Bayangkan!

**

Sampailah di antrian untuk foto dan pencetakan. Suamiku duduk di sebuah ruangan. Perhatiannya tertarik pada pak polisi yang sedang memotret seorang lelaki tua.

"Siap-siap ya, Pak. Menghadap kamera!"
Cekrek.
"Pak, jangan terlalu menghadap ke atas. Lihat ke kamera!"
Cekrek lagi. Pak polisi mendengus, "Bapak, jajal ndingluk bisa opo ora?"
Lelaki tua itu menurunkan separuh badannya. Pak polisi itu tersenyum, "Nah, begitu lho, Pak. Sebentar tak lihat dulu"

Pak polisi menghembuskan napas, berat. "Bapak, pose nya sudah oke terus kenapa harus merem? Foto lagi. Sekali ini sudah harus jadi ya, di belakang banyak yang antri."

Suamiku katanya senyum-senyum, demikian juga dengan yang antri bersamanya di satu ruangan.

Katanya gini, "Yang, tahu nggak. Yang bikin SIM baru itu sudah pada atua lho. Lah buat apa ya, baru bikin SIM."
Aku hanya meninggikan bahuku lalu menggeleng.
"Oh, iya. Mungkin buat pergi-pergi ya. Siki kan apa-apa maine tilangan. Eman-eman nek amben tilangan terus kelangan duit, kan?"

***

Waduh, kok cerita ini melenceng jauh dari judul ya? Oh My God, pembukaannya panjang. Sepanjang jalan kenangan. (Kok, jadi judul lagu?). Back to the story, please.

Semua proses telah berjalan hingga sampai di babak akhir antrian, yaitu mengambil SIM sementara di loket yang sudah disediakan. Kenapa bukan SIM cetak dengan blanko asli? Karena bulan ini kebetulan stok sedang habis, menurut keterangan pak polisi di ruang foto tadi. SIM perpanjangan asli baru bisa diambil, 3 bulan dari sekarang.

Di loket pengambilan SIM sementara, suamiku memberikan surat pengantar. Pak Polisi yang menerima, entah kenapa berkomentar.
"Jok, gye digoleti adimu?"
Yang dipanggil mendekat, lalu tersenyum.
"Asli Bantarsari apa, mas?"
"Iya, Pak."
"Kok, pakai seragam sekolahan kota. Kerja di sana ya?"
Suamiku hanya mengangguk. Diam-diam beliau membaca badge nama yang dipakai pak polisi yang barusan ada di depannya. 'Joko S." Nama yang sama seperti yang tertulis di name tag yang dipakainya.

Beberapa menit kemudian, pak polisi yang bernama Joko S., kembali.
"Ini, Pak Joko. SIM sementaranya. Jangan lupa akhir tahun kembali lagi ya untuk ambil SIM aslinya."
"Baik, Pak."

Suamiku menerima SIM sementara miliknya. Pak polisi pertama yang menerima surat pengantar tadi, masih juga iseng menyapa.
"Mas, kok bisa sih namanya sama?"
Suamiku hanya tersenyum, lalu menjawab dengan iseng juga, "Mungkin kita bersaudara, Pak?
"Wah, kalau begitu Mas Joko bersaudara dong sama Pak Joko Yulianto, Kapolres kita?" pak polisi itu menahan tawanya.
"Bisa jadi, Pak. Lah wong putranya beliau juga sekolah di sekolahan saya?"
"Oh, ya?"
"Iya, Pak. Coba deh, salamin Pak Joko Yulianto nya nanti. Insyallah beliau juga kenal dengan saya."

Pak polisi itu melongo, sementara suamiku menjabat tangannya.
"Sampai ketemu lagi, Pak. Bulan Desember ya?"

****

Mendengar cerita itu dari Ayah Joko (Jose: Joko Septiono), aku juga jadi iseng berkomentar.
"Yah, apa hubunganmu sama Joko Triyono?"
"Ibu, nggak usah iseng deh. Dia kang suaminya temanmu di sekolah."
Aku senyum, hehehe. Lalu, iseng lagi "Yah, apa hubunganmu sama Joko Aris Wibowo?"
Suamiku menatapku serius, "Ibu, dia kan yang pernah disangkakakan jadi pacarmu." Ups, itu masa lalu, Ayah.
Ayah yang kemudian melanjutkan, "Bu, kenapa nama Joko pasti belakangnya O?"
"Kalau pakai i ya bukan Joko lah, Yah? Tapi Joki? Tukang jaga sound system di hajatan." jawabku masih dengan kalimat yang iseng.

Pamungkasnya, aku yang menutup pembicaraan malam itu dengan pertanyaan, "Tahukah, Ayah? Ada berapa orang yang bernama Joko di dunia ini?"

Suamiku menggeleng, beranjak lalu berlalu sambil mengambil ponselnya. Meninggalkanku dengan jawaban, "Ratusan kali, bahkan ribuan. Tanyakan saja pada rumput yabg bergoyang!"

Weww.

*****

Tanyakan saja pada Pak Presiden Joko Widodo. Kenapa nama belakang Joko banyak yang huruf terakhirnya O?

😍

Ok, Google.

******

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#day12

#949kata
#CleverWedding
Rumah Clever, Cilacap, 12 September 2018: 13.24.
Ibu Jesi.

*******

Betty Clever
Betty Clever Lifestyle Blogger

Posting Komentar untuk "DIARY IBU JESI: SIM AYAH JOKO"