Cilok Rasa Strawberry

Tulisan ini ide awalnya datang dari tantangan kelima One Day One Post Batch 6. Tantangan untuk membuat fiksi komedi yang tidak dibatasi jumlah kata.

Entah mengapa tulisan ini menjadi cerita dengan latar belakang based on true story. Tersebab semua kejadian ini nyata, yang spontan dari WA jalur pribadi Ayah Jesi saat Ibu Jesi masih di sesi pertama Workshop Kurikulum 2013 di Aula Korwil Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Bantarsari. Cerita dirunut dari awal, supaya terjadi sinkronisasi alur. Agar tulisan tidak mabyur-mabyur. (berantakan-red)

Berikut ceritanya 👇

*

CILOK RASA STRAWBERRY

Hari Minggu kemarin, Embah Uti membuat cemilan karena kebetulan ada simpanan ikan giling di freezer. Aku tidak bisa membantunya karena harus berjibaku dengan setrikaan dan tugas beberes rumah, mumpung weekend. Bebi Jesi (BJ) maunya full sama Ayahnya jika liburan.

Semua orang sibuk dengan aktifitas masing-masing sampai menjelang siang. Sekitar pukul 10.30 Ayah Jesi baru akan sarapan, padahal aku sudah menyelesaikan kegiatan itu sejak dua jam yang lalu. Sebab sudah terbiasa makan di awal pagi sejak SD. Suka kelimpungan kalau sampai di undur-undur apalagi sampai jam segini. Bisa keliyengan akut, kecuali memang niat berpuasa.

Saat Ayah sarapan, Ibu mengambil alih tugas menjaga Bebi Jesi kemudian. Dia sedang asyik dengan kosakata baru yang beberapa hari ini jadi bahan kegelian dua Embahnya.

Embah Kakung ngeledek, "Jes, Jes. Kok diem-diem baen?"

Jesi tertawa renyah, bahagia sekali aku terlihatnya. Dia lenggak-lenggok sambil merespon pertanyaan Kakungnya, "Ngopi ngapa, ngopi!"

"Hahaha...," spontan orang yang ada di teras rumah, terbahak. Dari mana anak umur 20 bulan bisa tahu kalimat yang sedang in, di media sosial begitu. Perasaan aku tak pernah mengenalkan hal demikian.

*

Tengah hari menjelang, semua bersiap. Agenda berkunjung ke rumah saudara yang baru saja melahirkan memang sudah direncanakan. Tapi, saat semua sudah siap. Tahukah apa yang Bebi Jesi lakukan? Dia merajuk manja, minta dikelonin. Karena memang jadwal tidur siangnya sekitar jam sekian.

Baiklah, Ibu Jesi menurut. Aku dan BJ menuju ke kamar. Ayah Jesi menuju ke dapur. Katanya mau makan cemilan. Makan cemilan yang dibuat Embah Uti tadi pagi, dengan saos sambal extra pedas dicampur kecap. Sedap sekali sepertinya, aku sebenarnya ingin juga. Tadi sempat juga mengobrol soal cemilan. Tapi, demi BJ apalah mau dikata.

Tak lama kemudian, BJ memanggil-manggil Ayahnya. Entah karena gugup mendengar rajukan BJ atau sebab apa, Ayah Jesi datang dengan gelagapan. Aku pun keheranan.

"Kenapa, Yah?" aku bertanya masih dengan posisi menyusui Bebi Jesi.

Ayah tak juga menjawab, dia berdehem berulang kali. Seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.

"Ayah, kenapa sih?"

Ayah menggeleng. Bebi Jesi masih memanggil-manggil. Ayah pun merebahkan badan di sebelahnya.

Setelah BJ tertidur, aku masih khawatir dengan keadaan Ayah. Dia masih batuk-batuk kecil berulang. Aku bangun mengambilkan air hangat dan mendekatinya.

"Yah, yah. Minum dulu!"

Ayah Jesi menurut. "Ayah, kenapa sih?"
"Aku keloloden cilok, Bu?" (Ayah kesedak cilok, Bu?)

Hampir-hampir aku seperti jadi ikut tersedak saat mendengarnya. Geleng-geleng kepala.

"Ayah, ini gimana sih ya? Kurang hati-hati sih!"
"Lho, suami kena musibah kok malah gitu?"
"Lha, iya. Wong nggak hati-hati!"

Ayah Jesi kembali ke posisi semula, semenit kemudian sudah tertidur. Ya Allah Ya Rabbi, begitu mudahnya dia tertidur seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Embah Uti mendekati pintu kamar, "Bu, Jesi tidurkah?"
"Iya, Mbah. Tinggal saja dulu, nanti kalau sudah bangun kita berangkat."
"Oh, ya sudah. Atau nanti sorean saja bisa biar adem. Sekarang juga masih panas banget."

Aku mengangguk. Memutar pandangan, menahan keinginan untuk tertawa. Ayah kesedak cilok? Tanpa disangka pun Ayah bangun lalu ikut tertawa.

Hahahhahaha.

Ayah membuka matanya, mengisyaratkan agar aku diam dengan meletakkan satu telunjuk di bibirnya.

😷

**

Lho, kok baru cilok? Strawberrynya mana? 😂

Selasa dini hari, sekitar pukul 02.30 aku terbangun. Biasanya alarm akan membangunkan sekitar satu jam kemudian. Ini hal biasa, karena memang belum melaksanakan salat 'Isya jadi serasa tidur dalam bayang-bayang ketidaktenangan. Bangun jadi hal yang biasa, karena juga harus menyiapkan bekal dan ini itu untuk suami.

Sepagi itu, aku sudah sibuk di dapur. Niat dalam hati, untuk meringankan tugas rumah, kebetulan sedang ada tugas Workshop sampai tiga hari sejak kemarin sejak pagi sampai sore. Bayangkan kerepotan Embah di rumah. Dan kali ini adalah pertama aku meninggalkan Bebi Jesi dalam rentang waktu yang lama.

Sesuai permintaan Ayah Jesi, sambil menyiapkan menu "Balado Pare" aku menggoreng cilok yang masih ada, yang sudah dibuat sejak dua hari kemarin. Masih enak dimakan karena dihangatkan terus dipanci, supaya awet.

Setelah digoreng, ada sekitar satu mangkok penuh, katanya mau dibagi sama teman di sekolah. Okelah.

Belum selesai semua tugas, Ayah Jesi memanggil-manggil.

"Ibu, Jesi bangun!"

Ini panggilan wajib yang akan mengharuskan aku untuk segera mengurus BJ, sampai tuntas. Ini juga lah yang sering membuatku gagal menyelesaikan tugas pagi agar bekal Ayah siap sepenuhnya. 20% akan diselesaikan Ayah kemudian. Baiklah. Itulah dia. Dengan segala pengertian dan perhatiannya. Dia tidak akan rela babynya menangis memanggil-manggil Ibunya. Dia akan menghandle tugas dengan segera, siap dan sedia.

Adzan Subuh, memanggil. Kudengar Ayah masih memasak. Aku berusaha bangun, tapi BJ mengunci posisiku. Ya sudahlah.

"Bu, Ayah berangkat dulu ya!"

Ayah Jesi mencium kening, pipi dan bibir Bebi Jesi. Dia pun melakukan hal yang sama padaku.

"Hati-hati ya, Yah!"

Sampai Ayah berangkat, aku hanya mendengarkan dari dalam kamar. Melihatnya meninggalkan beberapa lembar uang untuk jatah belanja setiap hari pasaran (Selasa dan Jumat).

***

Pukul 07.30 Ibu Jesi sudah sampai di ruangan workshop. Posisi opening class dan lain-lain sangat hot. Belum juga bisa membuka gadget.

Baru sekitar sejaman, Ibu Jesi bisa membuka Whatsapp.

Hampir-hampir tawa tak tertahankan.

[9/10 08.49] Ayah Jesi: Ujarku saos tek go maem cilok malah sele salah njukut.
(Kirain saos buat makan cilok, malah selai. Salah ambil)

[9/10 08.49] Ayah Jesi: 😨

[9/10 09.55] Betty Irwanti Joko: 😆 Lha gimana ceritanya?

[9/10 13.12] AAyah Jose: Njiot nang sekolah. Nang kulkas.
(Ambil di kulkas sekolah.)

[9/10 13.12] AAyah Jose: Untung ciloknya masih ada separohnya yang bisa diselamatkan. Separohnya lagi sudah kucampur sama selai rasa strawberry dan air plus saos. Kupikir semua saos karena warnanya merah. Pas dicicip, kok manis??

Ibu oleng dan hampir meledakkan tawa begitu membaca WA yang terakhir. Sulit membayangkan apa yang terjadi pada Ayah Jesi hari ini.

Sejurus kemudian kutunjukkan Waprian dengan Ayah Jesi pada teman sebangku di Workshop dan teman di belakang.

Gelak tawa pun, membahana.

Begitu pula komentar beberapa teman yang menanggapi status di WA storyku.

****

Maafkan jika cerita ini tidak lucu ya. Tapi bagiku, hari ini sangat komedi sekali gegara Cilok dan Selai Strawberry.

By the way, ini tulisan fiksi atau non fiksi ya?

Apakah ini sudah termasuk memoar?

Please, bantu jawab ya!

Tulisan ini sebenarnya mendapat banyak saran dari suami, selaku editor pertama untuk setiap tulisanku.

But, the show must go on.

Belum sempat edit, sebab jam segini juga sudah masuk kelas lagi.

Oke.

Back to fokus.

*****

(bukan) #TantanganODOP5
#onedayonepost
#odopbatch6
#fiksi
#1103kata

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#day40

#CleverStory
Rumah Clever, Cilacap, 9 Oktober 2018: 17.25.
Ibu Jesi.

******

Betty Clever
Betty Clever Lifestyle Blogger

Posting Komentar untuk "Cilok Rasa Strawberry"